Posted by
Unknown
|
0
comments
Menyikapi Makhluk Lain
Menyikapi Makhluk Lain
”Ya
Abu Hurairah, sayangilah semua makhluk Allah, maka Allah akan menyayangimu dan
menjagamu dari neraka pada hari kiamat.” Aku bertanya, “Ya Rasulullah, aku
pernah menyelamatkan seekor lalat yang jatuh ke air.” Jawab Rasulullah, “Allah
mencintaimu. Allah mencintaimu. Allah mencintaimu.” (Nasihat Rasulullah SAW
pada Abu Hurairah)
SUATU
hari, Rasulullah berkisah kepada para sahabat yang tengah berkumpul. Ia
mengisahkan tentang seorang laki-laki dari kalangan Bani Israil tengah berjalan
di bawah terik matahari, dengan rasa rasa haus yang amat sangat. Ketika ia melihat
ada sebuah sumur, maka ia segera turun dan mengambil airnya untuk diminum.
Setelah hausnya terpuaskan dan laki-laki itu hendak meninggalkan tempat itu, ia
melihat seekor anjing yang sedang kehausan. Anjing itu menjilat-jilat pasir
karena hausnya.
Dalam
hatinya, laki-laki ini mengatakan,”Anjing ini menderita kehausan, sebagaimana
aku.” Akhirnya, ia kembali turun ke sumur dan memenuhi sepatu kulitnya dengan
air, dan diberikanlah kepada binatang malang itu.
Rasulullah
SAW setelah membawakan kisah ini bersabda, ”Maka Allah memujinya dan
mengampuninya.”
Mendengar
kisah tersebut, para sahabat bertanya,”Wahai Rasulullah, apakah benar-benar
kami memperoleh pahala karena binatang?” Rasulullah pun menjawab, ”Di
setiap hati yang lembab ada shadaqah.”
‘Hati
yang lembab’ adalah perumpamaan terhadap makhluk hidup apapun. Makhluk yang
mati, hati dan badannya mengering. Sebab itulah, Imam An Nawawi menyimpulkan
dari kisah di atas bahwa berbuat baik kepada binatang hidup, baik memberi minum
atau lainnya merupakan sebuah bentuk shadaqah (Syarah Shahih Muslim, 7/503).
Jelas,
dari keterangan di atas, Islam amat memuliakan binatang. Memenuhi kebutuhan
binatang pula dihitung sebagai sebuah shadaqah, sebagaimana juga memberi kepada
manusia, karena kedua-duanya ‘berhati lembab’.
Hal
yang sama disebutkan Rasulullah,
“Seorang
Muslim tidak menanam tanaman, hingga memakan dari tanaman itu manusia, binatang
atau burung, kecuali merupakan shadaqah baginya, hingga datang hari kiamat.
(Riwayat Muslim)
Sayang
Terhadap Binatang Termasuk Ajaran Islam
Islam
adalah ajaran yang menebarkan kasih sayang dan rahmat kepada seluruh alam
semesta. Tidak hanya membatasi kasih sayang hanya kepada sesama manusia saja,
namun makhluk lain juga harus mendapatkan imbas rahmaniyah dari ajaran Islam ini. Hal ini
disebabkan karena Allah telah menciptakan kehidupan binatang bersinggungan
dengan kehidupan manusia, bahkan mempermudah kehidupan manusia.
Allah
telah berfirman,
”Dan
binatang ternak telah diciptkan-Nya untuk kalian, padanya ada (bulu) yang
menghangatkan dan berbagai manfaat, serta sebagiannya kalian makan. Dan kalian
memperoleh keindahan padanya, ketika kalian membawanya kembali ke kandang dan
ketika kalian melepaskannya. Dan ia mengangkut beban-beban kalian ke suatu
negeri yang kalian tidak sanggup mencapainya, kecuali dengan susah payah.
Sungguh, Rabb kalian benar-benar Maha Pengasih dan Penyayang. Dan (Dia telah
menciptakan) kuda, baghal dan keledai untuk kalian tunggangi dan sebagai
perhiasan. Allah menciptakan apa yang tidak kalian ketahui. ” (An Nahl [16]:
5-8)
Dalam
sejarah peradaban Islam sendiri, hubungan harmonis antara manusia dengan
binatang terjalin dengan baik, sebagaimana eratnya hubungan antara Ashabul
Kahfi dengan anjing mereka. Demikan pula Rasulullah, beliau juga berhijrah
dengan onta setia beliau yang nama Al Qashwa`, disamping beliau juga memiliki
beberapa onta lain yang bernama Al Adhba` dan Al Jadm. Seorang sahabat dalam
kisah pembuka di atas, aslinya bernama Abdurrahman bin Shahr. Ia gemar membawa
kucing kecil di sakunya, hingga Rasulullah memberikan panggilan kesayangan
untuknya dengan sebutan Abu Hurairah, yang artinya ‘ayah kucing’.
Islam
sebagai ajaran yang menekanan kepada pemeluknya untuk menyayangi binatang
sebenarnya sudah tercermin dalam pembahasan dasar masalah fiqih, yakni masalahthaharah (bersuci), dimana kita sebagai Muslim,
dilarang buang air besar atau air kecil ke dalam lubang, merujuk kepada hadits
yang diriwayatkan Abu Dawud. Ada ulama yang menyebutkan bahwa di dalam liang
biasanya ada binatang-binatang kecil. Dengan buang air di tempat itu, maka hal
itu bisa menzalimi binatang-binatang tersebut. (lihat Mughni Al Muhtaj, 1/61)
Masih
masalah thaharah, bahkan kita sebagai Muslim diwajibkan meninggalkan wudhu dan
melakukan tayammum sebagai gantinya, seandainya ada binatang muhtaram yang kehausan, sementara persediaan
air sangat terbatas. Binatang muhtaram adalah binatang yang tidak
diperintahkan untuk dibunuh. (lihat, Mughni Al Muhtaj, 1/130).
Kita
sebagai Muslim diwajibkan meninggalkan wudhu dan melakukan tayammum sebagai
gantinya, seandainya ada binatang muhtaram yang kehausan, sementara persediaan
air sangat terbatas.
Adab
kepada Binatang Tunggangan
Disamping
secara umum menganjurkan berbuat baik kepada binatang, secara spesifik, Islam
menjelaskan bagaimana seharusnya para pemilik binatang tunggangan memperhatikan
beberapa hal, hingga tidak ada pihak yang terzalimi.
Islam
melarang seseorang memaksa binatang untuk mengangkut beban berat diluar
kemampuan hewan itu, sebagaimana diriwayatkan oleh At Thabarani, “Jika kalian
melihat tiga orang naik binatang tunggangan, maka lemparlah mereka, hingga
salah satu dari mereka turun.”
Sebagaimana
Rasulullah berpesan kepada para pemilik kendaraan agar memperhatikan makanan
binatang tunggangan mereka. “Jika kalian melakukan perjalanan di daerah subur,
maka berilah makanan ontamu dari daerah itu dan jika kalian melakukan
perjalanan di daerah paceklik, maka percepatlah, hingga tidak membahayakannya.”
(Riwayat Muslim)
Tentu,
jika mereka masih berada di wilayah gersang, dan tidak ada makanan untuk onta
mereka, maka keadaan demikian mengancam kehidupan binatang tersebut.
Binatang
Pun Mengeluh
Kenapa
Islam menjauhkan pemeluknya dari pebuatan zalim terhadap binatang? Karena
binatang itu seperti manusia. Ia juga merasakan lapar, haus, lelah atau sakit
jika terzalimi. Rasulullah pernah memperoleh pengaduan dari beberapa
binatangyang memperoleh perlakukan tidak baik dari pemiliknya. Sebagaimana
termaktub dalam Shahih Muslim, Rasulullah pernah berkisah, bahwa beliau menemui
seorang laki-laki yang menarik sapi untuk mengangkut. Sapi itu menoleh kepada
beliau dan mengatakan, “Demi Allah, aku tidak diciptakan untuk hal ini, namun
untuk membajak.”
Dalam
hadits lainnya yang diriwayatkan Abu Dawud disebutkan,
Suatu
saat Rasulullah memasuki sebuah kebun milik sahabat Anshar. Di kebun itu
terdapat seekor onta, yang tiba-tiba matanya mengeluarkan air mata ketika
melihat Rasulullah. Akhirnya beliau bertanya,”Siapa pemilik onta ini?” Saat itu
seorang pemuda datang dengan mengatakan,”Saya wahai Rasulullah.” Beliau pun
menyampaikan,”Apakah engkau tidak takut kepada Allah mengenai binatang ini?
Sesunggunya ia mengadu kepadaku, bahwa engkau membiarkannya lapar dan
terus-menerus mamaksanya bekerja.” (H.R. Abu Dawud)
Tidak
Menghina Binatang
Yang
terlarang dalam Islam bukan hanya menzalimi binatang secara fisik, namun
merendahkan ataun mencelanya juga dilarang, karena binatang pun termasuk
ciptaan Allah Ta’ala. Pernah suatu saat Rasulullah menjumpai wanita yang tengah
melaknat onta yang ia tunggangi, hingga akhirnya beliau menghukum wanita
tersebut, sebagaimana disebutkan Imam Muslim.
Imam
Al Ghazali juga melarang merendahkan ciptaan Allah termasuk hewan, tatkala
beliau membahas mengenai hal penjagaan terhadap mulut. (lihat Al Maraqi
Al Ubudiyah, hal.69)
Sikap
Para Ulama terhadap Binatang
Imam
Abu Ishaq As-Sirazi. Suatu saat, tokoh besar dalam madzhab As Syafi’i ini
berjalan bersama beberapa sahabatnya. Tiba-tiba ada seekor anjing berjalan di
depan rombongan itu. Menyaksikan hal itu, salah seorang anggota romongan
menghardik anjing tersebut. Mengetahui hal itu Abu Ishaq melarangnya dan
menasehati,”Apakah engkau tidak tahu bahwa anjing itu dan kita sama-sama berhak
menggunakan jalan ini?” (Al
Majmu`, 1/45).
Semoga
bermanfaat.
Silahkan SHARE ke rekan anda jika menurut anda note
ini bermanfaat.
(Dikutip
dari blog ‘Suci
Sekeping Hati’ )
0 comments: