Posted by
Unknown
|
0
comments
Ketika Al-Quran Tinggal Tulisan
Ketika Al-Quran
Tinggal Tulisan
Al-Quran adalah nama suatu kitab yang berisi firman Allah SWT yang
diturunkan kepada nabi dan rasul-Nya yang terakhir, yaitu Rasulullah Muhammad
SAW. Al-Quran diturunkan oleh Allah SWT kepada Rasulullah SAW dengan
perantaraan Malaikat Jibril. Dan caranya tidaklah sekali turun, melainkan
berangsur-angsur, menurut kepentingannya, sebagaimana yang dikehendaki Allah
SWT.
Menurut keterangan sebagian ulama ahli tarikh, permulaan wahyu
Al-Quran diturunkan pada hari ke-17 bulan Ramadhan tahun 41 Fiel, bertepatan
dengan tanggal 6 Agustus 610 M. Rasulullah pada waktu itu berumur 40 tahun. Dan
penghabisan Al-Quran diturunkan pada tanggal 9 Dzulhijjah tahun ke 10
Hijriyyah, bertepatan dengan 8 Maret tahun 632 M, dan saat itu Rasulullah sudah
berusia 63 tahun. Masa diturunkannya Al-Quran selama 22 tahun dua bulan 22
hari.
Al-Quran diturunkan dengan berangsur-angsur bukannya tanpa alasan.
Allah SWT berfirman dalam surah Al-Furqan ayat 32, “Berkatalah orang-orang yang
kafir: Mengapa Al-Quran itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?
Demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacakannya secara
tartil (teratur dan benar).”
“Dan Al-Quran itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar
kamu membacanya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian
demi bagian.” (QS Al-Isra’ 106). Al-Quran diturunkan dengan berproses itu
bertujuan supaya Rasulullah SAW tidak merasa berat membaca dan mengajarkannya
kepada manusia, dan supaya manusia yang menerima pengajaran dari Al-Quran dapat
mengerjakannya sedikit demi sedikit, ajarannya masuk ke dalam qalbu, dan mereka
dapat melaksanakan setiap perintah secara sempurna dan menghindari larangan
dengan tuntas.
Awal dan Akhir Wahyu
Dalam bukunya Al-Quran dari Masa ke Masa, H. Munawar Khalil
menulis, “Sebagian besar ulama ahli hadits, ahli tafsir, dan ahli tarikh telah
sepakat bahwa permulaan wahyu Al-Quran yang diturunkan oleh Allah SWT kepada
Rasulullah SAW adalah surah Al-‘Alaq ayat 1 sampai 5, ‘Bacalah dengan menyebut
nama Tuhanmu, Yang Menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal
darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Paling Pemurah, Yang mengajar manusia
dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak
diketahuinya.’
Sedang wahyu penghabisan yang diturunkan ialah ayat yang sekarang
termaktub dalam surah Al-Maidah ayat 5, ‘Pada hari ini telah Ku-sempurnakan
untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah
Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu’.”
Dikisahkan, Nabi Muhammad SAW ketika menerima wahyu pertama kali
itu sedang berada di Gua Hiraa’ dan gunungnya terkenal dengan nama “Jabal
Nuur”. Saat itu Rasulullah SAW sedang mengasingkan diri dari masyarakat ramai
untuk bermunajad dan beribadah. Beliau memang sering mengasingkan diri di dalam
gua itu sejak pertengahan bulan Rabi’ul Awwal sampai pada bulan Ramadhan. Jadi
lebih kurang enam bulan lamanya beliau sering pergi dari kota Makkah berkhalwat
ke gua itu.
Kemudian pada suatu malam di bulan Ramadhan dalam keadaan sunyi
senyap, gelap gulita, dan seorang diri, beliau didatangi Malaikat Jibril, yang
sebelumnya tidak pernah beliau kenal. Malaikat Jibril memberi tahu beliau bahwa
malam itu beliau telah diangkat menjadi rasul Allah dan mulai diberi wahyu
yaitu diawali dengan lima ayat surah Al-Alaq.
Adapun wahyu yang penghabisan diturunkan kepada Rasulullah SAW,
menurut beberapa riwayat yang banyak disepakati para ulama, ialah pada waktu
Rasulullah SAW mengerjakan ibadah haji wada’ di Padang Arafah bersama-sama kaum
muslimin pada 9 Dzulhijjah tahun ke 10 Hijriyyah. Hanya berselang 81 hari dari
wafatnya Nabi.
Keindahan Bahasa Al-Quran
Riwayat hidup Nabi Muhammad SAW telah menunjukkan dengan jelas bahwa
beliau tidak pernah ikut perlombaan karang-mengarang syair, membikin pidato,
dan sebagainya, yang telah menjadi kebiasaan turun-temurun bangsa Arab pada
umumnya di kala itu, terutama suku bangsanya sendiri, Quraisy. Betul bahwa
Rasulullah SAW sejak kecil sudah fasih, lancar lidahnya, tetapi kefasihan itu
adalah sesuatu yang biasa bagi orang Arab.
Demikianlah keadaan pribadi Rasulullah sebelum diangkat menjadi
rasul Allah atau sebelum beliau menerima wahyu Allah.
Kemudian setelah beliau menjadi rasul dan Al-Quran telah
diturunkan sedikit demi sedikit, segala yang menjadi kebesaran bangsa Arab di
kala itu berangsur-angsur lenyap. Mereka umumnya menjadi lemah menghadapi
semangat yang menyala-nyala yang terkandung di dalam ayat-ayat Al-Quran, yang
ketajaman susunan kata-katanya bisa menembus jiwa siapa pun yang
mendengarkannya.
Di kala Al-Quran diturunkan kepada Rasulullah SAW, tidak sedikit
bangsa Arab yang ahli dalam kesusastraan Arab yang ahli menyusun kata-kata
untuk berpidato denga bahasa yang halus, fasih, dan indah. Begitu juga para
penyairnya, sangatlah terkenal.
Namun apa yang terjadi setelah Al-Quran diturunkan? Tidak seorang
pun yang dapat mengimbangi satu ayat pun dalam Al-Quran.
Allah SWT menyatakan dengan firman-Nya melalui perantaraan
Nabi-Nya, mereka yang menentang Al-Quran dipersilakan membuat satu ayat saja
yang bisa mengimbangi atau yang serupa dengan ayat Al-Quran, tapi tidak satu
pun mereka yang mampu menjawab tantangan tersebut.
Untuk mengetahui kehalusan dan keindahan bahasa Al-Quran itu bukan
perkara mudah. Mereka yang belum pernah mempelajari bahasa Arab dengan
sungguh-sungguh tentu tidak akan dapat membedakan kehalusan dan keindahan
ayat-ayat Al-Quran dengan keindahan dan kehalusan bahasa Arab yang terkandung
dalam kitab-kitab Arab umumnya.
Rasul pun Menangis
“Bulan Ramadhan itu yang di dalamnya diturunkan permulaan Al-Quran
sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai
petunjuk-petunjuk itu dan pembeda antara yang hak dan yang bathil.” (QS
Al-Baqarah: 185).
Al-Quran diturunkan ke langit dunia dari Lauh Al-Mahfuz pada bulan
Ramadhan. Bulan Ramadhan mendapat kemuliaan karena firman Allah SWT diturunkan
pada bulan ini.
Oleh sebab itu Rasulullah SAW belajar Al-Quran bersama Jibril pada
bulan Ramadhan. Setiap malamnya Rasulullah SAW mendengarkan bacaan Jibril,
mentadabburinya, membacanya, dan mengambil ibrah darinya. Rasulullah SAW hidup
dengan Al-Quran dan menenteramkan hati dengannya.
Orang yang tengah berpuasa dan membaca Al-Quran, berarti telah
menyatukan keintiman hubungan antara bulan Ramadhan dan Al-Quran, maka ia
benar-benar hidup bersama Al-Quran. “Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan
kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan
supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran.” (QS Shaad: 29).
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Quran, ataukah hati
mereka terkunci?” (QS Muhammad: 24).
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Quran? Kalau kiranya
Al-Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapatkan pertentangan
yang banyak di dalamnya.” (QS An-Nisa: 82).
Pada bulan Ramadhan, harusnya kita menjadikan Al-Quran sebagai
sumber inspirasi. Ia mengembalikan ingatan kita kepada masa diturunkannya
dahulu, masa ia dipelajari, dan masa para salafush shalih dengan
sungguh-sungguh memperhatikannya.
Rasulullah SAW bersabda, “Bacalah Al-Quran, karena pada hari
Kiamat nanti ia akan menjadi penolong bagimu.”
“Sebaik-baik kamu adalah yang mempelajari Al-Quran dan yang
mengajarkannya.”
“Bacalah dua kuntum keharuman, yaitu surah Al-Baqarah dan Ali
Imran, karena keduanya pada hari Kiamat nanti akan datang seperti dua awan atau
seperti sekumpulan burung yang terbang berbaris yang menaungi pembacanya dari
terik panas.”
Rasulullah SAW juga bersabda, “Orang yang membaca Al-Quran dan
mahir dalam pembacaannya akan dibangkitkan bersama rombongan orang-orang yang
mulia lagi baik. Sedangkan orang yang membaca Al-Quran tapi tidak mahir akan
memperoleh dua pahala.” Sebuah syair mengatakan:
Aku mendengarmu, wahai Al-Quran ketika malam telah larut Kemuliaan
sangatlah menggugah hati
Denganmu kami membebaskan dunia sampai pagi menyongsong dengan
cerah Setelah itu kami berkeliling negeri dan kami penuhi dengan pahala
Dalam buku Sekolah Ramadhan, Dr A’id Abdullah Al-Qarni menulis,
“Rasulullah SAW sangat dekat dengan Al-Quran pada bulan Ramadhan. Beliau
menghabiskan waktunya bersama Al-Quran, dan mempelajarinya dari Jibril.”
Al-Quran menempati posisi paling penting dalam kehidupan
Rasulullah SAW, karena Al-Quran merupakan mukjizat terbesar beliau. Allah SWT
mengirim Al-Quran kepada Rasulullah SAW di dunia untuk menjadikannya mukjizat
yang tidak tertandingi oleh mukjizat selainnya.
Mukjizat nabi-nabi lain berakhir begitu saja seiring dengan
berakhirnya kehidupan nabi tersebut di dunia, sedangkan Al-Quran tidak
demikian. Al-Quran akan tetap kekal abadi sepanjang masa.
Al-Quran adalah pembuka jalan dakwah Rasulullah SAW, menjadi
dindingnya, menunjukkan kekuatannya, dan menjelaskan ajaran yang dibawanya
dengan berkesinambungan, generasi demi generasi.
Rasulullah SAW selalu hidup bersama Al-Quran, dan beliau
menjadikan kebanyakan waktu beliau untuk Al-Quran pada bulan Ramadhan.
Ketika ditanya bagaimana akhlaq Rasulullah SAW, Aisyah RA
menjawab, “Akhlaqnya adalah Al-Quran.” Dalam kitab Shahih Al-Bukhari disebutkan
sebuah riwayat dari Ibnu Mas’ud, ia berkata, “Rasulullah SAW pernah berkata
kepadaku, ‘Bacakan Al-Quran kepadaku!’
Aku menjawab, ‘Ya Rasulullah, bagaimana aku akan membacakan
Al-Quran kepadamu sedangkan Al-Quran itu sendiri diturunkan kepadamu?’
Rasulullah SAW berkata lagi, ‘Bacakan Al-Quran kepadaku, karena
aku suka mendengarkan Al-Quran dari orang lain.’
Akhirnya aku membacakannya kepada beliau dan beliau pun
mendengarkan dengan khusyu’.
Ketika aku sampai pada ayat yang berbunyi, ‘Maka bagaimanakah jika
nanti Kami datangkan bagi setiap umat itu seorang saksi dan Kami jadikan engkau
saksi atas mereka pula?’ (QS An-Nisa’: 41), Rasulullah SAW berkata, ‘Cukuplah
hingga ayat ini.’
Waktu itu aku perhatikan, air mata beliau bercucuran. Ternyata Rasulullah
SAW sangat terharu dengan ayat itu dan teringat kepada Allah SWT.”
Abu Hatim dalam tafsirnya meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW
kadang-kadang keluar pada waktu malam untuk mendengarkan bacaan-bacaan Al-Quran
dari dalam rumah penduduk Anshar. Pada zaman itu rumah para sahabat diramaikan
oleh bacaan Al-Quran, mereka menghabiskan malam dengan mentadabburi Al-Quran.
Belum ada waktu itu orang mengobrol ke sana-kemari tanpa manfaat.
Pada malam hari mereka adalah ahli ibadah, sedangkan pada siang hari mereka
adalah pejuang berkuda yang mati-matian meninggikan kalimah Allah.
Pada suatu malam Rasulullah SAW mendengar suara seorang perempuan
tua membaca surah Al-Ghasyiyah. Beliau Rasulullah mendekati rumah itu dan
mendekatkan kepalanya ke pintu untuk mendengarkan bacaan perempuan tua
tersebut. Ternyata ia sedang membaca ayat Hal ataka haditsul ghasyiyah.....
(Sudahkah datang kepadamu berita tentang hari pembalasan? – QS Al-Ghasyiyah:
1). Hari pembalasan, Kiamat, adalah peristiwa amata penting yang menakjubkan, ia
adalah peristiwa besar yang bakal terjadi di dunia ini.
Mendengar bacaan itu, Rasulullah SAW merasa seolah bacaan itu
tertuju kepadanya. Beliau larut dalam keharuan dan menangis sambil berkata
lirih, “Ya, telah datang berita itu kepadaku.”
Lihatlah, sampai sejauh itu Rasulullah SAW tersentuh hatinya
mendengar bacaan Al-Quran.
Dalam kitab Shahih Al-Bukhari juga disebutkan, Rasulullah SAW
pernah mendatangi Ubay ibn Ka’ab RA yang selalu menghabiskan waktunya untuk
mempelajari Al-Quran dan yang paling bagus bacaannya. Beliau berkata kepadanya,
“Sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepadaku untuk membacakannya kepadamu
ayat yang berbunyi Lam yakunilladzina kafaru min ahlil kitab.... (Orang-orang
kafir dari kalangan Ahli Kitab dan orang-orang musyrik mengatakan bahwa mereka
tidak akan meninggalkan agama mereka sebelum datang kepada mereka bukti yang
nyata – QS Al-Bayyinah: 1).”
Ubay ibn Ka’ab berkata dengan nada heran, “Benarkah itu, ya
Rasulullah?”
Rasulullah SAW menjawab, “Ya, Allah memerintahkan itu kepadaku
dengan menyebut namamu.”
Berlinang air mata Ubay ibn Ka’ab mendengarnya.
Lalu Rasulullah SAW membacakan surah Al-Bayyinah itu sampai
selesai.
Rasulullah SAW juga pernah berkata kepada Ubay, “Wahai Abu
Al-Mundzir (panggilan untuk Ubay), tahukah engkau ayat yang mana yang paling
agung di dalam Al-Quran?”
Ubay menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.”
Rasulullah mengulangi pertanyaannya.
Ubay pun masih menjawab dengan jawaban sama.
Maka Rasulullah berkata, “Yakni ayat yang berbunyi Allahu la ilaha
illa Huwal Hayyul Qayyum (ayat Kursi).” Lantas beliau meletakkan tangannya di
dada Ubay seraya berkata, “Mudah-mudahan ilmu dimudahkan bagimu, wahai Abu
Al-Mundzir.”
Rasulullah SAW hidup bersama Al-Quran dengan cara membacanya,
merenunginya, mengamalkannya, dan mengambil hukum darinya. Beliau selalu
menjadikan Al-Quran itu sebagai bahan renungan dan peringatan.
Dalam hadits Abu Dzar disebutkan, Rasulullah SAW pada suatu malam
bangun dari tidurnya untuk membaca Al-Quran. Ketika baru membaca
Bismillahirrahmanirrahiim, beliau menangis tersedu-sedu. Bacaan basmalah itu
beliau ulang-ulang terus dan air matanya terus bercucuran. Lalu beliau berkata,
“Sesungguhnya merugi orang-orang yang tidak mendapatkan rahmat Allah.”
Merenungi Isinya
Al-Quran adalah petunjuk, kitab yang menuntun qalbu menuju Allah
SWT.
Ibnu Mardawaih meriwayatkan, ketika sahabat Bilal RA lewat di
depan rumah Rasulullah SAW pada waktu sahur untuk mengumandangkan adzan subuh
di masjid, ia mendengar Rasulullah SAW membaca ayat yang berbunyi, “Sesungguhnya
dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang,
terdapat tanda-tanda kekuasaan-Nya bagi orang-orang yang berakal. Yaitu
orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan
berbaring dan mereka memikirkan ihwal penciptaan langit dan bumi seraya
berkata, ‘Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia.
Mahasuci Engkau, maka peliharalah kami dari api neraka’.” (QS Ali
Imran:190-191).
Ketika Rasulullah tahu bahwa Bilal ikut mendengarnya, beliau
berkata kepadanya, “Baru saja turun kepadaku beberapa ayat Al-Quran. Sungguh
celakalah orang yang membacanya tapi tidak merenunginya.”
Al-Quran memang teman hidup Rasulullah SAW, terutama di bulan
Ramadhan. Karena itu terdapat banyak riwayat yang menyebutkan, para salaf dulu
mengkhususkan bulan Ramadhan untuk merenungi Al-Quran dan tidak disibukkan
dengan ilmu-ilmu lain walaupun memiliki keutamaan yang juga besar.
Menurut sunnah, membaca Al-Quran haruslah dengan perlahan dan
penuh penghayatan. Dalam sebuah hadits disebutkan, “Tidaklah memahami Al-Quran
orang yang membacanya (menamatkannya) kurang dari tiga hari.”
Rasulullah SAW berkata kepada Ibnu Amru, “Bacalah Al-Quran dalam
tujuh hari (paling cepat menamatkannya) dan jangan kurang dari itu.”
Maka, menurut sunnah, menamatkan bacaan Al-Quran harus di atas
tiga hari, jangan sampai kurang. Cara yang lebih baik adalah membacanya dengan
merenungi dan meresapi setiap maknanya, karena cara yang seperti itulah yang
membawa hasil dan menambah keimanan.
Tiga Golongan
Dalam hal membaca Al-Quran, manusia terbagi menjadi tiga golongan:
Pertama, mereka yang berlebih-lebihan, yakni yang membacanya tanpa
merenungi dan meresapi setiap maknanya. Tujuan mereka hanyalah mengkhatamkan
sesering mungkin sehingga sebagian mereka ada yang mengkhatamkan dalam waktu
satu atau dua hari saja. Mereka membacanya secepat mungkin.
Kedua, mereka yang sangat jarang membacanya bahkan tidak pernah
membacanya sama sekali.
Ketiga, mereka yang berada di antara dua golongan di atas. Mereka
tidak berlebih-lebihan dalam membacanya, tapi tidak pula berkekurangan. Inilah
golongan yang terbaik.
Dalam kitab Shahih Al-Bukhari dan Muslim Rasulullah SAW bersabda,
“Apabila memasuki bulan Ramadhan, dibukalah pintu surga dan ditutup pintu
neraka serta dibelenggu setan-setan.”
Allah SWT lebih banyak menerima taubat hamba-hamba-Nya pada bulan
Ramadhan, karena Allah menjadikan bulan itu bulan kebaikan dan pengampunan.
Maka beruntunglah orang-orang yang bertemu dengan bulan Ramadhan lalu berbuat
baik di dalamnya. Beruntunglah orang yang dapat mencapai keridhaan Sang
Maharahman di bulan ini, dan Mahasuci Allah, yang begitu banyak memberi
ganjaran pada bulan ini, sampai Dia nanti di akhir bulan Ramadhan akan
membebaskan siapa yang Dia kehendaki dari api neraka tanpa batas.
Iman Terkikis
Rasulullah SAW pada bulan Ramadhan melaksanakan shalat Tahajjud
seperti pada saat di luar Ramadhan, tapi beliau lebih giat lagi mengerjakannya,
karena bulan Ramadhan adalah bulan bulan shiyam (puasa) dan qiyam (shalat
malam)
Dalam hadits Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa
berpuasa di bulan Ramadhan dengan penuh keimanan dan mengharapkan ganjaran,
diampuni atas dosa-dosanya yang telah lalu.” Dengan penuh keimanan artinya
tidak termasuk orang yang berpuasa bukan karena iman atau hanya karena menurut
adat, sedangkan mengharapkan ganjaran maksudnya bukan berpuasa karena riya’ dan
pamer.
Sepanjang malam bulan Ramadhan, Rasulullah SAW bermunajat kepada
Allah SWT. Betapa besarnya pahala bangun shalat malam, terlebih lagi pada bulan
Ramadhan, yang agung. Begitu pula sujud, berwudhu’, berdoa, dan menangis,
terlebih lagi pada bulan Ramadhan.
Ketika mendirikan shalat malam itu ditinggalkan oleh umat Islam,
iman yang ada di dalam dada mereka menjadi terkikis dan keyakinan mereka menjadi
lemah.
Generasi berganti, tapi tidak seperti generasi yang hidup bersama
Rasulullah SAW dulu. Generasi yang ada sekarang hanya generasi yang lemah,
terhina, dan penuh kemalasan, kecuali sebagian kecil mereka yang masih
dirahmati Allah SWT. Sungguh sedikit di antara mereka yang bersyukur.
“Dan pada sebagian malam hari bersembahyang-Tahajjudlah kamu
sebagai suatu ibadah tambahan bagimu. Mudah-mudahan Tuhanmu mengangkat kamu ke
tempat yang terpuji.” (QS Al-Isra: 79).
Engkau akan dibangkitkan pada hari Kiamat nanti seperti saat
engkau bangun malam. Kedudukanmu ditentukan pula dengan apa yang engkau
laksanakan di waktu malam hari. Pada hari itu tidak ada yang bisa memberi
syafa’at dan pertolongan kecuali seizin Allah. Apa yang telah engkau perbuat di
dunia, seperti itulah keadaanmu nanti dibangkitkan.
Bagi seorang muslim yang menginginkan kebaikan atas dirinya, ia
mesti memperbanyak membaca Al-Quran, shalat malam. Apalagi di bulan Ramadhan,
bulan untuk memperbaharui jiwa, bertabur kesempatan yang tidak akan tergantikan
kapan pun, bulan taubat dan pembebasan dari api neraka.
Sungguh merugi dan bodoh sekali orang yang bertemu bulan Ramadhan
tapi tidak bertaubat dari masa lalunya sehingga tidak mendapat pembebasan dari
neraka.
Rasulullah SAW jika shalat malam tidak pernah lebih dari 11
rakaat, seperti yang diceritakan oleh Aisyah RA. Tapi satu rakaat yang beliau
lakukan sungguh sangat lama. Dalam satu rakaat beliau bermunajad kepada Allah
SWT, merenungi ayat-ayat-Nya. Beliau menghidupkan jiwanya dengan mentadabburi
Al-Quran, menangis, dan merengek, bersujud, ruku’, dalam waktu lama, sehingga
setiap rakaatnya menjadi suatu kebaikan, tidak ada yang lebih baik dari itu.
Membaca Al-Quran dengan tajwid serta shalat dengan tenang itu jauh
lebih baik daripada memperbanyak rakaat tanpa itu semua. Dalam beramal,
kualitas lebih penting daripada kuantitas. Begitu juga dalam membaca Al-Quran.
Jangan membaca dengan tergesa-gesa dan jangan pula disenandungkan yang sampai
merusak kata dan maknanya.
Ada orang yang hanya menamatkan Al-Quran sekali saja tapi karena
bacaan, tajwid, dan penghayatannya sangat baik, kalamullah itu dapat mengobati
penyakit dirinya dan luka hatinya. Al-Quran memang memiliki pengaruh yang
sangat besar dalam membacanya.
Tapi ada juga orang yang menamatkan Al-Quran berkali-kali tapi
Al-Quran itu tidak menjadi konsumsi hatinya dan tidak pula menjadi penguat bagi
keyakinannya, karena ia membacanya tidak dengan penghayatan.
Rumah para salafush shalih pada bulan penuh rahmah dan berkah ini
bergema seperti gema lebah yang memancarkan cahaya dan dipenuhi kegembiraan.
Mereka membaca Al-Quran dengan tartil, memperhatikan keajaiban-keajaiban
isinya, takut dan menangis terhadap peringatan-peringatan yang terdapat di
dalamnya, berbahagia dengan berita gembiranya, saling mengingatkan dengan
perintah-perintahnya, dan saling mencegah dengan larangan-larangannya. Al-Quran
bila dibaca dengan baik dapat menggugah perasaan dan melapangkan hati orang
yang mendengarkannya.
Tinggal di Tenggorokan
Namun ketika generasi terakhir ini tidak lagi membaca, menghayati,
dan mengamalkan Al-Quran, muncullah berbagai kerusakan pada diri mereka.
Pendidikan jadi menyimpang, fithrah kemanusiaan menjadi lenyap, dan pemahaman
menjadi tidak sehat lagi.
Pada saat Al-Quran digantikan dengan yang lain, kerusakan pun
semakin menjadi-jadi, bencana mewabah, paham menjadi berbenturan, dan segala
tekad menemui kegagalan.
Al-Quran, yang agung, menunjukkan manusia kepada jalan yang lurus.
Al-Quran, yang agung, adalah cahaya, obat jiwa, ilmu pengetahuan, budaya, dan
bukti nyata. Al-Quran, yang agung, adalah hidup dan ruh kehidupan, sumber
kebahagiaan, serta induk kebajikan. Al-Quran, yang agung, adalah ajaran
ketuhanan, undang-undang Ilahi, dan hikmah yang abadi.
Rasulullah SAW bersabda, “Hampir datang suatu masa kepada umat
manusia bahwa Islam tidaklah ketinggalan melainkan tinggal namanya, dan
Al-Quran tidaklah ketinggalan melainkan tinggal tulisan, masjid-masjid mereka
ramai tetapi sunyi kosong dari petunjuk yang benar, para ulama mereka lebih
buruk dari segala apa yang di bawah kolong langit karena dari sisi mereka itu
keluarnya fitnah dan kepada mereka fitnah akan kembali.” (HR Imam Al-Baihaqi
dari Ali RA).
Hadits ini jelas mengandung keterangan bahwa Islam tinggal namanya
dan Al-Quran tinggal tulisannya. Apa yang diingatkan oleh Rasulllah SAW itu
kini tampak mulai menjadi kenyataan.
Dewasa ini Al-Quran tinggal tulisannya, semua tuntunannya tidak
lagi diperhatikan dan tidak pula dipraktekkan. Jangankan dipraktekkan,
mempelajari dan memikirkan saja sudah banyak yang tidak mau lagi. Banyak orang
Islam yang merasa sudah cukup dengan kitab karangan para ulama, merasa cukup
dengan kitab karangan para gurunya, merasa cukup dengan keterangan para
leluhurnya atau nenek moyangnya....
Selanjutnya Rasulullah SAW bersabda, “Akan datang suatu masa
umatku pada masa itu banyak para pembaca Al-Quran, sedikit orang yang pandai
agama, dicabutlah ilmu pengetahuan, dan banyak huru-hara, kemudian datanglah
sesudah itu suatu masa orang-orang dari golongan umatku membaca Al-Quran dengan
tidak melalui tulang tenggorokan mereka.” (HR Imam At-Thabarani).
Pada hadits lain beliau menyatakan, “Akan ada kemudian orang-orang
dari umatku yang membaca Al-Quran yang bacaannya tidak melalui tenggorokannya,
mereka terlepas dari agama Islam seperti terlepas anak panah dari busurnya,
kemudian tidaklah mereka dapat kembali di dalamnya, mereka itu sejelek-jelek
makhluk dan sejahat-jahat manusia.” (HR Imam Muslim).
Kemudian ada hadits lainnya, “Akan ada nantinya para ahli ibadah
yang bodoh dan para ahli membaca Al-Quran yang durhaka.” (HR Imam Abu Nu’aim).
Keadaan umat Islam seperti yang diingatkan oleh Rasulullah SAW itu
sudah mulai tampak pada zaman sekarang. Mereka tidak lagi menjadikan Al-Quran
sebagai tuntunan hidup, tapi sekadar didendangkan sebatas tenggorokan. Al-Quran
tidak lagi ditaati dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Al-Quran hanya
sebagai buku sakti yang dipajang di dalam lemari atau ditaruh di tempat yang
tinggi sampai berdebu.
Sekarang terserah kepada masing-masing kita. Apakah kita memang
hidup bersama Al-Quran ini, mengenal kebesaran Al-Quran, sehingga kehidupan
kita bahagia dengannya di dunia dan akhirat. Atau sebaliknya....
Semoga kita bisa mengambil hikmah dari catatan ini
Silahkan SHARE ke rekan anda jika menurut anda note ini bermanfaat
0 comments: