Posted by
Unknown
|
0
comments
Karena Ramadhan itu INDAH
Karena Ramadhan itu
INDAH
Namun
demikian, harus diingat bahwa Ramadhan bukan musim ibadah atau musim taat
karena pada dasarnya ibadah tidak mengenal musim.
عَنْ
اَبِى هُرَيْرَةَ رض يَقُوْلُ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: قَالَ اللهُ: كُلُّ عَمَلِ
ابْنِ آدَمَ لَهُ اِلاَّ الصّيَامَ فَاِنَّهُ لِيْ وَ اَنَا اَجْزِى بِهِ، وَ
الصّيَامُ جُنَّةٌ. وَ اِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ اَحَدِكُمْ فَلاَ يَرْفُثْ وَ
لاَ يَصْخَبْ فَاِنْ سَابَّهُ اَحَدٌ اَوْ قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ اِنّى امْرُؤٌ
صَائِمٌ. وَ الَّذِى نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَخُلُوْفُ فَمِ الصَّائِمِ
اَطْيَبُ عِنْدَ اللهِ مِنْ رِيْحِ اْلمِسْكِ. لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ يَفْرُحُهُمَا،
اِذَا اَفْطَرَ فَرِحَ وَ اِذَا لَقِيَ رَبَّهُ فَرِحَ بِصَوْمِهِ. البخارى
“Dari Abu Hurairah (semoga Allah meridoinya) dia berkata,
bersabda Rasulullah Saw. bahwa Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, Seluruh amal
anak Adam adalah untuknya kecuali shaum. Sesungguhnya shaum itu untuk-Ku dan
Akulah yang membalasnya. Shaum adalah tameng. Maka pada hari seseorang
melakukan shaum janganlah ia melakukan rofats dan janganlah bertengkar
(berteriak). Jika seseorang mencacinya atau menantangnya berkelahi maka hendaklah
ia katakan, ‘Sesungguhnya aku sedang shaum.’ Demi Dzat yang diriku ada di
tangan-Nya, bau mulut orang yang shaum lebih baik di sisi Allah dari pada wangi
minyak kesturi. Orang yang shaum mendapat dua kebahagiaan. Jika ia berbuka, ia
bahagia dengan bukanya. Dan jika ia berjumpa dengan Tuhannya ia berbahagia
dengan shaumnya.” (H.R. Muttafaq ‘alaih dan lafaz ini riwayat Bukhari)
Ramadhan
merupakan fasilitas dari Allah untuk manusia agar dapat memuliakan dirinya
dengan meningkatkan ibadah dan pengabdian kepada-Nya. Dalam salah satu
firman-Nya, Allah Swt. berfirman. “Hai orang-orang yang beriman,
diwajibkan atas kamu shaum sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu
agar kamu bertakwa” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 183)
Namun
demikian, harus diingat bahwa Ramadhan bukan musim ibadah atau musim taat
karena pada dasarnya ibadah tidak mengenal musim. Sepanjang masa adalah musim
ibadah. Nah bila Ramadhan dianggap sebagai musim taat, maka selain Ramadhan
akan dianggap musim (boleh) maksiat.
Tentu
saja, antusiasme dan semangat beribadah ketika Ramadhan adalah sesuatu yang
baik. Kecenderungan kaum wanita yang berbusana menutup aurat saat Ramadhan pun
adalah sesuatu yang bagus. Yang tidak bagus adalah manakala Ramadhan berakhir,
berakhir pula kemeriahan ibadah dan masjid-masjid kembali sepi. Yang tidak
kalah menyedihkan adalah kembalinya ketelanjangan menghiasai kehidupan dan
menyingkirkan pakaian islami yang hanya berumur tidak lebih dari sebulan. Boleh
jadi, kondisi ini muncul sebagai akibat kesalahan dalam mempersepsikan
datangnya bulan Ramadhan.
Perlu
ditekankan di sini bahwa kita tidak boleh menganggap Ramadhan sebagai bulan
ibadah. Namun
demikian, dapatlah Ramadhan dengan segala fasilitas ibadah di dalamnya
dikatakan sebagai sarana recharge (pengisian
kembali enerji) yang bersiklus tahunan selain sarana recharge
bulanan (seperti shaum sunnah ayyamul-bidh setiap tanggal 13, 14, 15 bulan
hijriyah), sarana recharge pekanan (seperi shalat Jumat atau shaum sunat
Senin-Kamis), dan sarana recharge harian (seperti shalat lima waktu).
Nilai-nilai
(Hakikat) Shaum
Shaum,
sebagaimana ibadah-ibadah lainnya (seperti shalat, zakat, atau haji), mempunyai
tujuan mulia. Artinya, ibadah itu disyariatkan oleh Allah Swt. bukan
semata-mata dalam rangka agar pelakunya mendapatkan pahala. Jelas sekali
disebutkan dalam ayat ke-183 surat Al-Baqarah di atas bahwa tujuan
diwajibkannya shaum Ramadhan adalah agar pelakunya mencapai derajat takwa dan
dengan ketakwaan itulah manusia menjadi mulia.
Pertanyaannya,
bagaimanakah ibadah shaum Ramadhan ini dapat mengangkat derajat kita sehingga
dapat menjadi muslim prestatif di hadapan Allah dan di hadapan seluruh penghuni
alam semesta? Inilah nilai-nilai atau hakikat yang terkandung dalam ibadah
shaum.
Pertama,
shaum terkait erat dengan keimanan sejati karena ia adalah ibadah rahasia.
Kita
tidak akan bisa membedakan mana orang yang benar-benar shaum dengan orang yang
hanya berpura-pura melaksanakan shaum. Ya, seseorang bisa saja makan dan minum
di tempat yang tidak diketahui orang lain dan di depan kita ia mengaku sedang
shaum. Pun seseorang yang benar-benar mengerjakan shaum bisa saja terlihat
beraktivitas sebagaimana biasanya seperti manakala ia tidak mengerjakan shaum.
Jadi
shaum adalah ibadah hati yang sangat rahasia antar seorang hamba dengan
Tuhannya. Ketika seseorang menahan makan, minum, dan hal-hal lain yang
membatalkan shaum padahal ia bisa dan mampu makan dan minum, hal itu merupakan
bukti atas kesadaran dan keyakinan akan adanya pengawasan Allah Swt. Ini
berbeda dengan ibadah lain yang dikerjakan dengan melakukan sesuatu. Ibadah
shaum justru dikerjakan dengan menahan diri dari melakukan sesuatu.
Kedua,
shaum mendidik seorang hamba untuk berorientasi masa depan.
Seorang
yang shaum akan dengan sukarela meninggalkan hal-hal yang halal demi mencapai
dua kebahagian di masa yang akan datang, yakni masa berbuka dan masa berjumpa
dengan Allah Swt. Jadi, orang yang melakukan shaum adalah mereka yang rela
berkorban serta menderita sesaat untuk menggapai kebahagiaan yang akan datang. Hal
tersebut adalah salah satu indikasi kuatnya keimanan pada hari akhirat, hari
kehidupan yang hakiki.
Ketiga,
shaum adalah pewujudan ketundukan mutlak kepada Sang Pencipta.
Seorang
yang melakukan shaum baru makan dan minum pada saat datang waktu magrib dan
menahan diri dari segala hal yang membatalkan (shaum) manakala datang fajar.
Ini saja sudah merupakan ketundukan kepada Allah. Selain itu, seseorang yang
shaum dari terbit fajar sampai magrib (kira-kira 13 jam), tidak akan pernah
menawar agar shaum dilakukan dari jam sepuluh pagi (misalnya), yang penting
lamanya sama yaitu 13 jam. Demikian pula halnya dengan anjuran makan sahur yang
tidak akan dibantah meski keadaan tubuh saat itu yang tidak ingin makan. Semua
kita lakukan karena tunduk dan patuh sepenuhnya kepada titah Allah Swt.
“Dihalalkan
bagi kamu pada malam hari bulan shaum bercampur dengan istri-istri kamu; mereka
itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah
mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah
mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan
carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga
terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian
sempurnakanlah shaum itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri
mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka
janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada
manusia, supaya mereka bertakwa.” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 187)
Keempat,
shaum merupakan sarana pendidikan masyarakat.
Terasa
berat bagi seseorang saat shaum dilakukan seorang diri. Ini dapat kita rasakan
saat kita melakukan shaum sunat. Hal tersebut akan berbeda manakala semua orang
yang ada di lingkungan sekitar melaksanakan shaum. Setiap orang di lingkungan
tersebut menjadi bersemangat melakukan shaum dan nyaris tidak ada keluhan.
Ternyata, ibadah yang dilakukan secara bersama-sama (dengan seluruh atau
sebagaian besar masyarakat) menghasilkan sebuah kenikmatan tersendiri. Dari
suasana kebersamaan tersebut, muncul rasa persatuan, keterpaduan, serta
kebersamaan dalam ketaatan kepada Allah Swt.
Itulah
hikmah-hikmah yang dapat kita petik. Tentu saja, hanya Allah yang mengetahui
esensi atau hakikat shaum itu sendiri. Namun demikian, dari hikmah-hikmah
tersebut di atas saja, kita sudah dapat memahami dan tentu mengimanai bagaimana
ibadah shaum Ramadhan menghadirkan ketakwaan.
Keutamaan
Shaum
Teramat
banyak fadhilah (keutamaan) shaum sepanjang yang dijelaskan dalam Al-Quran
maupun sunah Rasulullah Saw. Keutamaan-keutamaan tersebut sebagian telah
disebutkan dalam hadits yang menjadi pembuka artikel ini. Lebih jelas, berikut
akan diuraikan fadhilah-fadhilah tersebut.
1.
“Seluruh amal anak Adam adalah untuknya kecuali shaum. Sesungguhnya shaum itu
untuk-Ku...”
Muncul
pertanyaan, “Bukankah seluruh amal adalah untuk Allah dan bukankah Allah yang
membalas semua amal?” Para ulama telah banyak mendiskusikan makna kalimat
hadits tersebut. Berikut beberapa penafsiran yang dihimpun oleh Ibnu Hajar
Al-‘Asqalany dalam kitabnya, Fathul-Bari.
Abu
‘Ubaid berkata, “Kita tahu bahwa seluruh al-birr (kebajikan) adalah untuk Allah
dan Dialah yang membalasnya. Maka kami berpendapat, shaum mendapat kekhususan
karena ia tidak tampak pada manusia dengan melakukannya. Shaum tidak lain
adalah sesuatu yang ada dalam hati orang itu.” Artinya, ketika seseorang yang
shaum duduk berdampingan dengan orang yang tidak shaum (baik karena dia makan
dan minum di siang hari ataupun tidak makan maupun minum namun serta tidak
berniat shaum), tidak ada yang membedakan antara keduanya. Yang tidak shaum
tersebut bisa tampil lemas dan yang shaum bisa tampil segar sehingga hampir
tidak dapat dibedakan. Lalu apa yang membedakan? Tidak lain adalah hatinya.
Hati yang bersangkutanlah yang tahu bahwa dirinya shaum atau tidak. Dan
hanyalah Allah-lah Yang Mengetahui hal itu.
Al-Qurthubi
berpendapat, “Seluruh amal dapat disusupi riya sedangkan shaum tidak ada yang
mengetahuinya (bila ia dengan niat selain Allah Swt.), maka Dia menisbatkan
shaum pada Dirinya. Oleh karena itu, disebutkan dalam sebuah hadits, ‘Dia
meninggallkan syahwatnya karena-Ku.’”
Ibnul-Jauzi
berpendapat, “Seluruh ibadah akan tampak dengan melakukannya dan amat sedikit
yang selamat dari debu (riya), berbeda halnya dengan shaum.”
Ibnu
Jahar Al-‘Asqalani setelah memaparkan beberapa pendapat ulama tentang kalimat
itu, kemudian mengulas dan mengatakan bahwa, “Seluruh amal anak Adam, ketika
berpeluang disusupi riya maka dinisbatkan pada diri mereka. Berbeda halnya
dengan shaum, orang yang menahan diri (dari makan-minum) karena kenyang sama
belaka dengan orang yang menahan diri dalam rangka taqarub (mendekatkan diri)
kepada Allah dalam hal tampilan lahiriyah.”
Ia
juga menambahkan bahwa yang dimaksud dengan penafsiran riya dari shaum adalah,
“Shaum tidak dapat disusupi riya dengan semata-mata mengamalkannya. Tapi ia
bisa disusupi riya dengan pemberitaan (publikasi), misalnya dengan publikasi
bahwa dirinya shaum. Dengan cara-cara semacam itulah riya dapat masuk ke dalam
shaum. Jadi, masuknya riya ke dalam shaum hanya datang dari sisi (cara)
publikasi. Sedangkan ibadah-ibadah selain shaum bisa disusupi riya dengan
semata-mata melaksanakannya.”
2.
“Dan Akulah yang membalasnya.” Menjelaskan kalimat itu, Ibnu Hajar
Al-‘Asqalani mengatakan, “Aku (Allah) sendiri yang mengetahui ukuran (kadar)
pahalanya dan pelipatgandaan kebaikannya. Ada pun ibadah lain, sebagian manusia
dapat mengatahuinya.” Ia kemudian memaparkan hasil kajian para ulama lainnya,
semisal Mufassir Al-Qurthubi yang berkata, “Maknanya, bahwa amal-amal telah
dibuka (dipaparkan) ukuran pahalanya kepada manusia dan bahwa pahalanya itu
dilipatgandakan dari sepuluh hingga tujuh ratus kali lipat hingga (sebanyak)
yang Allah kehendaki, kecuali shaum. Sesungguhnya Allah memberi pahala shaum
tanpa ukuran.”
Pemahaman
itu didukung oleh riwayat lain dalam Kitab Al-Muwaththa, sabda Rasulullah Saw.: “Setiap
amal anak Adam dilipatgandakan kebaikannya menjadi sepuluh kali lipat, sampai
tujuh ratus kali lipat, sampai sebanyak yang Allah kehendaki.Allah berfirman,
‘Kecuali shaum, sesungguhnya shaum itu untukku dan akulah yang membalasnya.’”
(H.R. Muttafaq ‘alaih)
Ini
sejalan dengan makna ayat berikut: “....Sesungguhnya hanya
orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (Q.S.
Az-Zumar [39]:10)
Di
antara penafsiran kata ash-shabiruun (orang-orang sabar) dalam ayat itu adalah
ash-shaimun yakni orang-orang yang shaum.
3.
“Shaum adalah tameng” Di
dunia, shaum adalah tameng dari syahwat. Rasulullah Saw. bersabda, “Wahai
segenap pemuda, barangsiapa di antara kalian mampu (untuk menikah) maka
menikahlah. Karena menikah itu lebih mampu menundukkan pandangan dan memelihara
kemaluan. Dan batang siapa yang belum mampu hendaklah ia shaum karena shaum itu
merupakan tameng.” (H.R. Muslim)
Dan
di akhirat shaum adalah tameng dari api neraka. Rasulullah Saw. bersabda,“Barangsiapa shaum satu hari saja
di jalan Allah maka Allah akan menjauhkan wajahnya dari api neraka sejauh
(perjalanan) satu tahun.” (H.R. Muslim)
4.
“Demi Dzat yang diriku ada di tangan-Nya, bau mulut orang yang shaum lebih baik
di sisi Allah dari pada wangi minyak kesturi.” Ini menegaskan keutamaan shaum dan
orang yang melakukannya. Ketika seseorang melakukan shaum dan secara alamiah
mengakibatkan kekosongan lambung yang menimbulkan bau yang tidak sedap (yang
rata-rata manusia tidak munyukainya), Allah justru menyukainya. Namun jangan
pula hal ini dipahami sebagai anjuran kejorokan dan tidak memelihara kebersihan
sebab yang diperintahkan itu shaumnya bukan baunya.
5.
“Orang yang shaum mendapat dua kebahagiaan. Jika ia berbuka, ia bahagia dengan
bukanya. Dan jika ia berjumpa dengan Tuhannya ia berbahagia dengan shaumnya.” Ini adalah kebahagiaan yang
tidak mungkin dirasakan oleh orang yang melaksanakan shaum, meskipun ia
berpura-pura lapar dan menampakkan badan yang lemas. Jika di dunia tidak
mendapat kebahagiaan, apatah lagi di akhirat kelak.
6.
Orang yang melaksanakan shaum akan masuk surga dari pintu khusus yang disebut
Rayyan. Rasulullah
Saw. bersabda, “Sesungguhnya di surga ada satu
pintu yang bernama Rayyan, melalui pintu itulah orang yang shaum masuk. Dan
tidak ada yang masuk melalui pintu itu selain mereka. Lalu dipanggil, ‘Siapakah
yang shaum?’ maka mereka berdiri dan tidak ada yang memasukinya selain mereka.
Ketika mereka sudah masuk maka dikuncilah pintu itu.” (H.R. Al-Bukhari)
Dan
masih banyak lagi karunia dan keutamaan yang Allah berikan kepada orang yang
shaum pada bulan Ramadhan. Jadi, jangan sia-siakan fasilitas ini karena
Ramadhan itu memang indah.
Wallahu
a’lam.
semoga
kita bisa mengambil hikmah dari catatan ini
Silahkan SHARE ke rekan anda jika menurut anda notes
ini bermanfaat
Editor
: MAPI
Source
: MAPI
Spesial Ramadhan 2010
0 comments: