Posted by
Unknown
|
0
comments
Kita dan Al Qur'an
Kita dan Al Qur'an
Dalam
berinteraksi dengan Al qur'an, umat Islam saat ini berada di antara 4 situasi:
Pertama, tersebutlah dalam sebuah cerita bahwa
sepasang suami isteri dari sebuah desa berangkat ke Makkah untuk menunaikan
ibadah haji. Mereka tahu, bahwa mutu emas di tanah Arab itu sangat tinggi serta
harganya pun relatif lebih murah. Untuk itu, mereka pun sepakat untuk membeli
kalung dan seperangkat perhiasan lainnya. Sekembali ke kampungnya, mereka
menyimpang emas-emas tersebut dalam sebuah laci yang indah dan dikunci
rapat-rapat. Mereka melakukannya karena menganggap bahwa emas tersebut adalah
sesuatu yang berharga, memiliki nilai besar (value) sehingga perlu dijaga
dengan disimpan di tempat yang aman. Akhirnya, emas tersebut tidak pernah
dipakai atau dinikmati sebagai perhiasan yang berharga karena kekhawatiran akan
menurunkan nilai atau value dari emas yang dilikinya.
Kedua, sepasang suami isteri dari kampung lain
melancong ke kota New York, kota metropolitan, kotanya dunia. Setiba di New
York, mereka mencari tempat untuk menyewa mobil. Setelah deal selesai, sang
penyewa meminta sebuah "map" (peta) kota New York. Mereka sadar,
sebagai musafir yang asing (stranger traveler) mereka memerlukan peta agar
tidak tersesat dalam perjalanan di kota yang baru bagi mereka. Sayangnya,
selama perjalanan peta (map) tersebut hanya dipegang, minimal dilihat tapi
tidak difahami secara serius petunjuk-petunjuknya. Akhirnya, mereka berjalan
dan berjalan, namun tujuan yang ingin dicapainya tidak pernah dicapainya.
Bahkan mereka berjalan ke arah yang sesat, terperangkap dalam sebuah rimba yang
penuh binatan buas.
Ketiga, seorang pemuda kampung datang ke kota.
Setiba di kota, sang pemuda diajak ke pantai oleh seorang temannya yang
kebetulan penyelam. Sesampai di pantai tersebut, sang pemuda pertama kali
menemukan kotoran-kotoran, sampah-sampah dan hanya pasir-pasir dan batu-batuan.
Terbetiklah dalam benak pemuda kampung, betapa bodohnya pemuda kota yang selalu
menyelam di lautan yang hanya penuh kotoran dan sampah tersebut. Sang pemuda
kampung tidak sadar, betapa dalam lautan tersembunyi mutiara dan berbagai benda
berharga lainnya. Sayangnya, sang pemuda hanya mampu melihat pinggiran lautan
yang tidak terpelihara secara baik sehingga penuh dengan kotoran dan sampah dan
tidak mampu menangkap berbagai rahasia keindahandi dalamnya.
Keempat, Seorang pensiunan hansip dari sebuah
kampung terpencil pergi melancong ke kota London. Selama menjadi hansip, dia
selalu taat dengan aturan-aturan yang selama ini dihafalnya, termasuk menghafal
lafaz pancasila dan pembukaan uud 45-nya. Sebagai law obedient person, dia
sudah bertekad untuk tidak melakukan lagi hal-hal lain yang di luar hafalannya.
Setiba di London, sang hansip diperhadapkan kepada aturan-aturan baru yang
selama ini belum ada di pemikirannya. Maka, ia menolak untuk mentaati kota
London karena menurutnya, aturan-aturan tersebut tidak sesuai dengannya yang
selama ini difahaminya.
Ikhwati,
Kira-kira
begitulah sekarang ini. Kita dalam berinteraksi dengan Al Qur'an berada pada
posisi di atas, atau minimal berada pada salah satu kelompok manusia as
sebagaimana digambarkan di atas:
Pertama, kita sadar bahwa Al Qur'an itu sangat
berharga, memiliki nilai yang sangat tinggi. Al Qur'an itu kita hargai dan
cintai. Namun pernghargaan dan kecintaan kita terhadap Al Qur'an, ibarat
kecintaan dan penghargaan seorang haji terhadap emasnya. Kita membeli Al Qur'an
yang paling fancy, yang paling mahal dan paling indah. Sayangnya, Al Qur'an
hanya dijadikan perhiasan yang tersimpan di dalam laci, dikunci karena dianggap
suci. Al Qur'an justeru karena keyakinan kesuciannya, jarang tersentuh. Paling
tidak, hanya disentuh disaat akan membaca Yaasiin, karena mungkin seseorang di
antara anggota keluarga ada yang sakit keras (sakarat) atau mungkin karena
seseorang meninggal dunia.
Kedua, kita sadar bahwa kita semua adalah
musafir menuju peristirahatan akhir. Kita berjalan menuju alam kekal. Dan di
dalam perjalanan ini, kita membutuhkan peta (map), petunjuk jalan agar kita
tidak tersesat. Dengan peta, kita minimal akan mudah menemukan jalan yang
terefektif dan aman. Jika tidak, maka mungkin saja, kita tersesat ke dalam
hutan rimba yang penuh srigala dan binatan buas lainnya. Dunia ini adalah
ganas. Dunia ini penuh dengan perangkap dan tipu muslihat. Kalaulah dalam
perjalanan ini, kita tidak cermat mencari jalan aman, sesuai dengan petunjuk
jalan yang baku, maka kita dapat terjatuh dalam perangkap dan tipu muslihat
duniawi. Sayangnya, peta atau petunjuk jalan tersebut, hanya dipegang dan tidak
dipelajari, atau minimal dibaca tapi tidak difahami. Sehingga rasanya,
perjalanan kita serba semrawut tidak terarah, karena peta yang kita miliki
hanya justeru menjadi beban dalam perjalanan.
Ketiga, kurangnya keimanan dan keilmuan kita,
menjadikan kita kadang tergesa-gesa mengambil sebuah kesimpulan keliru terhadap
Al Qur'an. Arogansi manusia tidak jarang berkata, Al Qur;an itu hanya penuh
dengan beban-beban ajaran yang menghambat kemajuan hidup atau kehidupan yang
dinamis. Al Qur'an menghambat kemajuan dunia. Al Qur'an telah usang. Al Qur'an
hanya akan semakin menghambat kehidupan yang modern. Ibarat pemuda kampungan
yang diajakn jalan ke pinggir pantai pertama kali. Padahal, Al Qur'an adalah
lautan yang tak akan pernah habis terselami. Di dalamnya tersimpan segala
sesuatu yang berharga. Di dalamnya ada emas, mutiara dan berbagai barang mulia
dengan valuenya yang sangat tinggi. Sayang otak kampungan menganggapnya justeru
hanya "hambatan" kemajuan kehidupan yang dianggap modern.
Keempat, pada semua negeri ada aturan. Aturan
adalah sebuah keniscayaan. Negeri tanpa aturan tak lebih dari sebuah negeri
dari kumpulan hewan-hewan. Manusia yang hidup dalam sebuah negeri, tanpa ingin
diatur oleh sebuah aturan, mereka tak lebih dari hewan-hewan yang berbentuk
manusia. Kita hidup di negerinya Allah. Kita menumpang mencari makan, sedang
melancong (musafir) dalam negeriNya. Maka, akankah diterima sebagai sebuah
kewajaran, di saat kita mengatakan bahwa aturan Al Qur'an tak bisa diterima
karena "aku" sendiri sudah punya aturan? Jika tetap berpendirian
demikian, silahkan cari negeri, silahkan cari dunia, di mana anda dapat mengklaim
sebagai dunia yang Tuhan tidak perlu campur tangan. Ciptakanlah dunia baru
anda, yang di dalamnya Tuhan memang tidak perlu campur tangan. Selama anda
masih ada di planet sekarang, planet yang anda merasa belum pernah
menciptakannya sendiri, jangan coba-coba berprilaku "kuno" menganggap
punya aturan-aturan sendiri. Karena di mana pun anda pergi, setiap pemilik
negeri akan membuat aturannya sendiri. Dan dunia seluruhnya (al'aalamiin)
adalah negeriNya Allah. Untuk itu, adalah sangat tidak masuk akal dan tidak
realisits, jika anda menolak aturan Allah SWT.
Ikhwati,
Lalu
di manakah saya, anda dan kita semua? Masih masih-masing kita melakukan
introspeksi. Buka akal dan hati, hancurkan keegoan yang selalu angkuh dan
bersikap "fir'aunis" ala Ramsis II. [Sya]
Semoga
kita bisa mengambil Hikmah dari catatan ini
Silahkan SHARE ke rekan anda jika menurut anda notes
ini bermanfaat
Oleh
: Ustadz Syamsi Ali
0 comments: