Posted by
Unknown
|
0
comments
Hikmah Diam
Hikmah Diam
“Diam
adalah paling tingginya akhlak.” (HR
ad-Dailami)
Lidah
seseorang sering menjadi sumber bencana, manakala bergerak liar tak terkendali.
Lidah tak lagi memproduksi kata-kata yang santun dan toleran, melainkan
umpatan, provokasi destruktif, kebohongan, kenistaan, dan lainnya, yang
berujung pada disharmoni dan rasa penuh curiga.
Ibarat
harimau, lidah yang berada dalam kondisi “lapar” ini siap menerkam siapa saja,
termasuk diri sendiri. Maka, lidah mesti dikendalikan dan diarahkan kepada
hal-hal yang positif.
Karena
ulah lidah pula, banyak kaum muslimin terperangkap dalam jerat permusuhan,
pertumpahan darah, pertikaian, dan aneka bentuk kekerasan lainnya. Suatu sikap
yang bertentangan secara diametral dengan nilai-nilai Islam yang mencintai
kedamaian, kesejukan, dan harmoni hidup.
Ada
satu pilihan bijak agar kita terhindar dari bencana yang bersumber dari
bobroknya lidah, yaitu diam. Sikap diam adalah cermin kedalaman spiritual dan
kebeningan hati seorang muslim. Seorang muslim yang bijak tak akan pernah
mengumbar kata-kata. Apalagi kata-kata itu menjurus kepada kenistaan dan
kebencian.
Ketika
berhadapan dengan masalah yang pelik misalnya, seorang muslim yang bijak tak
akan pernah bersikap frontal dan kasar. Ia akan mencerna dan memahami setiap
detail masalah, kemudian bicara seperlunya sesuai konteks.
Benar
kata Rasulullah SAW, sikap diam akan menyelamatkan kita dari kehancuran dan
nestapa kehidupan. Bahkan, sikap diam menyiratkan tingkat kedalaman iman kita
kepada Allah SWT. Rasulullah bersabda, “Barangsiapa beriman kepada Allah
dan hari akhirat, maka hendaklah ia berkata baik atau diam.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Sikap
diam mengandung sejuta hikmah, walau tak semua orang bisa menikmati atau
sekadar mencicipi manisnya hikmat tersebut. Rasulullah bersabda, “Diam
itu adalah hikmah, tapi sedikit orang yang melakukannya.” (HR. Baihaqi)
Dalam
konteks dan situasi bagaimana kita harus bersikap diam? Minimal ada enam
perkara kita harus memilih sikap diam dan menghindari perkara tersebut. Yaitu
debat kusir,ghibah,
berbicara tentang hal-hal yang tidak berguna, syatm, buhtân,
dan fitnah.
Debat
Kusir
Lidah
kita sering gatal untuk mendebat seseorang karena persoalan sepele. Kita pun
lantas menikmati perdebatan tersebut karena rasa superior dan tingginya gengsi
hati. Didorong oleh sikap tidak mau kalah. Tak jarang, perdebatan diakhiri
dengan pertengkaran fisik.
Debat
kusir adalah kejahatan lidah yang sangat berbahaya. Orang yang memaksakan
diri “berjudi” di arena debat kusir, sesungguhnya ia sedang membawa dirinya ke
dalam jurang kehancuran.
Bagi
seorang muslim, tak ada alasan pembenar melakukan debat kusir. Menghindarinya
adalah pilihan yang sangat arif untuk menyelamatkan diri dari lubang kehancuran
dan murka Allah. Kemampuan meninggalkan debat kusir sesungguhnya merupakan
barometer kesempurnaan iman.
Rasulullah
bersabda, “Tidak beriman seseorang hingga ia
meninggalkan perdebatan walau perdebatan itu benar, dan meninggalkan kebohongan
walau hanya sekadar main-main.”(HR. Ibnu Wahab)
Berbicara
Hal yang Tidak Berguna
Salah
satu alasan mengapa seseorang berbicara hal-hal yang tidak berguna, adalah
untuk menunjukkan kepada orang lain bahwa ia cerdas dan berwawasan luas.
Padahal, orang yang banyak bicara, apalagi hal-hal yang tidak berguna,
sesungguhnya seperti tong kosong nyaring bunyinya. Jiwanya kering dan otaknya
miskin. Ucapan yang keluar dari lidahnya tak ubah seperti sampah yang baru
diangkat dari tempatnya. Menjijikkan.
Menghindari
berbicara hal-hal yang tidak berguna, tidaklah mudah. Apalagi lidah memang
tidak bertulang. Tapi hal itu harus dilakukan oleh seorang muslim, karena
merupakan barometer kesempurnaan agamanya.
Ketika
seorang muslim mampu menahan lidahnya dari berbicara hal-hal yang tidak perlu,
maka semakin tinggi dan sempurna derajat keberagamaannya di mata Allah. “Di
antara kesempurnaan Islam seseorang adalah meninggalkan sesuatu yang tidak
berguna.” (HR.
Tirmidzi)
Dalam
sebuah riwayat dikisahkan bahwa Anas ibn Malik RA bercerita: Suatu hari pada
Perang Uhud, aku melihat seorang pemuda yang mengikatkan batu ke perutnya
lantaran kelaparan. Ibunya lalu mengusap debu dari wajahnya sambil berkata,
”Semoga surga menyambutmu, wahai anakku.”
Ketika
melihat pemuda yang terdiam itu, Nabi SAW bertanya, ”Tidakkah
kamu ketahui mengapa ia terdiam saja? Mungkin ia tak ingin bicara yang tak
perlu, atau ia menolak dari hal-hal yang membahayakan dirinya.”
Dalam
riwayat lain Nabi bersabda, ”Kalau kamu menemukan seseorang
yang sangat berwibawa dan banyak diamnya, ketahuilah mungkin ia sudah
memperoleh hikmah.”
Syatm
Syatm berarti perkataan yang di
dalamnya terkandung unsur penghinaan, permusuhan, kedengkian, menyakiti, atau
menjatuhkan harga diri orang lain. Perkataan jenis ini seringkali dilontarkan
untuk sebutan-sebutan berlebihan dengan maksud menghina dan mengerdilkan
seseorang.
Suatu
ketika ada seorang Sahabat yang mencemooh Ali ibn Abu Thalib RA karena
kepalanya yang tidak berambut. Sahabat itu berkata, ”Hai, lihat! Sudah datang
si botak!” Mendengar ucapan itu Nabi bersabda, ”Janganlah
kau kecam Sahabat-sahabatku.” (HR.
al-Bukhari)
Ucapan
bernada syatm, biasanya merupakan representasi sikap
seseorang yang keras kepala, sombong, angkuh, merasa paling berkuasa, dan
maunya menang sendiri. Lebih dari itu, ucapan ini pertanda bahwa hati si
pengucap keras dan berkarat.
Sebagai
muslim, tak perlu kita melancarkan serangan balik kepada pihak yang menghina
kita. Karena tak ada manfaatnya. Melakukan serangan balik justru akan
memperuncing masalah. Berdoalah kepada Allah, agar orang tersebut dibukakan
mata hati dan otaknya.
Ghibah
Ghibah
(bergunjing) adalah perbuatan keji dan kotor. Orang senang menggunjing ibarat
suka memakan daging bangkai saudaranya sendiri. Ali ibn Abu Thalib seperti dinukil
al-Maraghi berkata, “Hindarilah pergunjingan (ghibah), karena ia adalah makanan
anjing-anjing manusia.”
Ghibah
adalah menyebutkan hal-hal yang tidak disukai orang lain, walaupun itu benar.
Baik berkaitan dengan kondisi badan, agama, dunia, jiwa, akhlak, harta, dan
lainnya. Cara ghibah bermacam-macam. Di antaranya membeberkan aib, menirukan
tingkah laku atau gerak tertentu dari orang yang dipergunjingkan dengan maksud
mengolok-olok.
Suatu
hari Aisyah RA pernah berkata kepada Rasulullah tentang Shafiyyah bahwa ia
wanita yang pendek. Beliau bersabda, “Sungguh kamu telah berkata dengan
suatu kalimat yang jika dicampur dengan air laut niscaya ia akan mengubah air
laut itu.” (HR. Abu
Daud)
Orang
yang suka melakukan ghibah menunjukkan kelemahan dan kemiskinan diri.
Seandainya ia kaya, tidak mungkin ia menggunjing orang lain, karena masih
banyak masalah-masalah lain yang lebih berguna dan bermanfaat untuk
dibicarakan.
Karena
ghibah merupakan perbuatan keji, sudah barang tentu pelakunya akan dimasukkan
ke dalam api neraka. “Barangsiapa menolak (ghibah) atas
kehormatan saudaranya, niscaya pada hari kiamat Allah akan menolak
menghindarkan api neraka dari wajahnya.”(HR. Ahmad)
Buhtân
Buhtân berupa penyebaran
kebohongan tentang seseorang, atau rekayasa rumor negatif tentang seseorang
yang tujuannya untuk menjatuhkan harga dirinya.
Frekuensi buhtân akan meningkat ketika terjadi
kompetisi antara dua tokoh atau lebih memperebutkan jabatan tertentu. Berbagai
intrik destruktif dilancarkan untuk memberi stigma negatif terhadap calon
lainnya. Tujuannya untuk mereduksi kepercayaan masyarakat terhadap seorang
calon, sehingga mereka akan berpaling ke calon lain.
Buhtân menjadikan rivalitas antara tokoh yang
memperebutkan kekuasaan tertentu menjadi tidak fair dan cenderung menghalalkan
segala cara untuk mencapai tujuan. Ini perlu diwaspadai, karena akan menjadi
bom waktu yang siap meledak kapan saja. Chaos di tengah masyarakat akan
terjadi.
Buhtân juga kerap menimpa seorang alim.
Terutama ketika para alim berseberangan ide atau gagasan keagamaan yang
dikembangkan alim lainnya. Di sinilah perlunya membangun sikap saling memahami
dan menghargai. Tak ada klaim yang paling benar. Apalagi, menyangkut
masalah-masalah kontroversial.
Fitnah
Fitnah
biasanya pecah karena dibakar kedengkian dan kebencian terhadap seseorang.
Fitnah lahir sebagai akumulasi dari ghibah dan buhtân. Ia merupakan kejahatan tertinggi yang
diproduksi oleh lidah.
Fitnah
ada di mana-mana dan menimpa siapa saja tanpa pandang status. Seorang tetangga
misalnya, tega memfitnah tetangga lainnya hingga kehidupan keluarga tetangganya
itu berantakan. Atau, karena ambisi memperoleh kedudukan yang lebih tinggi,
orang tega memfitnah atasannya sehingga karirnya hancur.
Taktik
busuk menebarkan fitnah untuk kepentingan pribadi atau golongan ini lazim
terjadi di tengah-tengah kehidupan kita. Maka terhadap fitnah, orang Islam
harus selalu waspada. Waspada untuk tidak berbuat fitnah, dan waspada untuk
menghadapi fitnah dari pihak lain.
Di
Tanah Air, sering kita saksikan keributan dan kerusuhan antaretnis, umat
beragama, suku, bahkan antarmuslim sendiri, dengan penyebab utama adalah fitnah
dan adu domba. Begitu besarnya bahaya dan dosa fitnah, maka Islam
mengkategorikannya sebagai perbuatan lebih kejam dari pembunuhan (QS Al-Baqarah
[2]: 191).
Bahkan
Rasulullah mempertegas lagi dengan sabdanya, “Tak akan masuk surga orang yang
suka menebar fitnah.” (HR.
al-Bukhari dan Muslim)
Fitnah
ibarat menyulut ranting kering. Ia akan cepat merebak ke mana-mana dan membakar
apa saja yang dilaluinya. Cara terbaik untuk terhindar dari fitnah adalah
jangan pernah sedikitpun terdetik dalam hati kita untuk memfitnah. Ketika
datang dorongan kuat dari nafsu untuk memfitnah, beristighfarlah dan mohonlah
ampun kepada Allah.
Ada
baiknya kita renungi kembali perkataan Ali ibn Abu Thalib tentang pentingnya
merawat lidah, ”Betapa banyak darah tumpah karena lidah. Betapa banyak manusia
binasa karena lidahnya. Dan betapa banyak ucapan yang menyebabkan kamu
kehilangan kenikmatan. Maka simpanlah perbendaharaan lidahmu, sebagaimana kamu
menyimpan perbendaharaan emas dan uangmu.” Wallâhu a’lam bish-shawâb.
Silahkan Share ke ke Rekan Anda jika menurut anda
notes ini bermanfaat.
Oleh
: KH. Muhammad Idris Jauhari
0 comments: