Posted by
Unknown
|
0
comments
Empat Pekerjaan Paling Sulit
Empat Pekerjaan Paling
Sulit
Dari
Sayyidina Ali RA, sesungguhnya pekerjaan yang paling sulit dilakukan ada empat:
(yaitu) memberi maaf ketika marah, bersikap dermawan ketika dalam kesusahan,
bersikap ksatria ketika sedang sendirian, dan berkata benar kepada orang yang
ditakuti atau disayangi.
Kualitas
kepribadian seorang muslim sangat ditentukan oleh sejauh mana ia konsisten
berpegang teguh pada prinsip-prinsip kebenaran, bahkan ketika berada dalam
situasi sulit, rumit, dan dilematis sekalipun. Tak ada alasan bagi seorang
muslim untuk menghindar dari situasi itu, selagi mampu membuatnya menjadi lebih
dekat kepada Allah SWT.
Setidaknya,
ada empat pekerjaan yang paling sulit dilakukan, seperti dijelaskan dalam
riwayat dari Sayyidina Ali RA di atas. Empat pekerjaan sulit itu, sejatinya
menjadi tolak ukur kualitas keimanan seseorang. Seorang muslim yang mampu
melakukannya dengan baik, sesungguhnya ia dapat dikategorikan sebagai muslim
dengan tingkat keimanan sangat tinggi. Demikian sebaliknya.
Berikut
ini uraiannya:
Memberi
Maaf Ketika Marah
Dalam
situasi normal, memberi maaf mudah dilakukan. Tapi, ketika kita sedang dipuncak
amarah, alih-alih mau memberi maaf, malah bisa jadi sebaliknya melakukan balas
dendam.
Setelah
menumpahkan kemarahan, biasanya batin terasa terobati. Kita merasa senang,
menang. Padahal, itu hanya sementara, dan perasaan yang datang kemudian justru
sebaliknya. Kita selalu akan dihantui rasa bersalah, atau merasa diri kita
lebih buruk dari sebelumnya. Disadari atau tidak, tindakan balas dendam,
sesungguhnya bertentangan dengan hati nurani.
Bagi
muslim sejati, ikhlas memberi maaf akan dilakukan dalam situasi dan kondisi
apapun. Tak terkecuali ketika sedang marah. Walau bagi sebagian orang tindakan
memaafkan terasa menyesakkan dada, tapi seorang muslim harus menyadari bahwa
memberi maaf, apalagi dilakukan ketika sedang marah, akan mempercepat proses
turunnya rahmat dan ampunan Allah yang bermuara pada ketenangan batin.
Bahkan,
Allah menjanjikan hadiah khusus berupa bidadari jelita di surga bagi orang yang
mau memberi maaf ketika marah. Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa
menahan marahnya, padahal ia sanggup untuk melampiaskannya, maka Allah kelak
akan memanggilnya pada hari Kiamat di hadapan segala makhluk hingga ia diberi
hak memilih bidadari yang disukainya.” (HR. Tirmidzi)
Selain
meraih pahala, memberi maaf dapat menjadi obat mujarab untuk mengobati penyakit
psikologis. Memberi maaf bisa membebaskan diri kita dari rasa marah, depresi,
kesal, bahkan bisa mendongkrak rasa percaya diri. Juga, kita tidak akan mudah
terjebak pada lingkaran dendam yang berkepanjangan. Inilah sesungguhnya modal
utama untuk mencapai hidup bahagia, harmonis, dan tentram.
Kemampuan
memberi maaf menjadi pertanda ”keberanian” seorang muslim untuk mempererat
ikatan ukhuwah islamiyah. Sekaligus
”keberanian” untuk mengakui kelemahan dan kealpaan diri. Patut diingat,
keberanian seseorang bukan diukur dari keberaniannya untuk berkelahi, tapi
ditentukan oleh kemampuan mengendalikan diri dan memberi maaf ketika sedang
marah.
Memberi
maaf sejatinya juga adalah cara terbaik untuk berdamai dengan diri sendiri,
sekaligus menjadi modal penting bagi terciptanya kedamaian sosial.
Dermawan
Saat Kesusahan
Sikap
dermawan bisa diartikan sebagai sikap murah hati. Sikap ini muncul sebagai
panggilan nurani seseorang saat melihat orang lain berada dalam kondisi butuh
pertolongan. Ketika seorang tetangga tiba-tiba jatuh miskin atau terkena
penyakit kronis misalnya, seorang dermawan sejati akan refleks terketuk hati
turut membantu meringankan beban tetangganya itu.
Masalahnya,
bagaimana kalau tetangga yang tertimpa musibah itu musuh atau orang yang secara
ideologis berseberangan dengan kita? Tetapkah kita membantu atau membiarkannya
dalam nestapa? Kalau kita sampai bersikukuh tidak membantunya karena berbagai
alasan, maka saat itu pula kita mesti melepas gelar kedermawan, atau paling
tidak mempertanyakan motif kedermawanan kita.
Seorang
dermawan sejati, tak akan pernah memandang ”status” objek yang akan dibantunya.
Karena kedermawanan murni untuk menegakkan nilai-nilai kemanusiaan, bukan
kepentingan tertentu, apalagi didasari unsur riya`. Ingin pamer kekayaan.
Memang,
sulit rasanya mendermakan harta kepada seseorang yang menjadi ”musuh” kita.
Tapi, kalau itu dilakukan, dan dibarengi rasa ikhlas untuk membantu, insyâ`allâh pintu hati musuh kita akan Allah buka
dan akhirnya ia akan menjadi ”teman baik” yang loyal kepada kita selamanya.
Perlu
kita mencermati riwayat berikut ini: Suatu ketika Abu Qatadah datang menagih
utang kepada Abdullah yang selalu berusaha menghindar, namun akhirnya bertemu
juga. Abdullah lantas mengaku, ”Aku benar-benar dalam keadaan yang sangat
sulit.” ”Kamu mau bersumpah?” balas Abu Qatadah. Abdullah menjawab,
”Sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah bersabda, ”Barangsiapa
ingin Allah bebas dari huru-hara hari Kiamat, maka hendaklah ia melapangkan
orang yang dalam kesempitan atau memaafkan (tidak menagih piutangnya).”
(HR. Muslim)
Jelaslah,
harta kekayaan yang mengalir dari sikap kedermawan, sungguh akan menjadi
perisai dan payung pengaman kiya yang akan melindungi dari huru-hara alam
akhirat kelak.
Ksatria
Saat Sendiri
Bersikap
ksatria ketika sedang sendirian, artinya bagaimana kita jujur kepada diri
sendiri, mampu mengendalikan hawa nafsu, dan yang terpenting, merasa bahwa
Allah senantiasa mengawasi gerak-gerik kita.
Sikap
ini sungguh sangat sulit dilakukan. Apalagi bagi remaja yang tengah puber, atau
mereka yang selalu ”ragu” bahwa Allah hadir di lubuk hatinya.
Perlu
disadari, ketika kita sendirian, sebetulnya kita tengah ditemani seorang kawan
bernama setan. Ia akan membisiki hati kecil kita agar melakukan maksiat. Tanpa
iman yang kuat, kita akan mudah terbuai bujuk rayu setan, yang akan
menjerumuskan kita pada lubang maksiat. Ia akan menggunakan segala taktik licik
untuk memperdayai kita, dan tak akan pernah mundur sampai berhasil menaklukkan
kita.
Di
sinilah penting upaya memperbanyak dzikrullâh ketika sedang sendirian. Biasakan
membaca tasbîh, tahmîd, tahlîl, takbîr,
istighfâr, dan shalawat, agar hati
senantiasa ”hidup” dan “nyambung”
dengan Allah. Inilah syarat pertama agar Allah senantiasa melindungi kita. Jika dzikrullâh sudah menjadi ”jiwa” kita, tak perlu
lagi ada kekhawatiran kita akan terjebak pada perbuatan maksiat, sekalipun
ketika sedang sendirian.
Agar
kesendirian berbuah pahala dari Allah, penting mengisinya dengan hal-hal
produktif, seperti beribadah, belajar, dan aktivitas pribadi lainnya. Di luar
itu, kita perlu waspada bahwa waktu kosong dan kesendirian senantiasa menyimpan
”bom waktu” yang siap meledakkan kepribadian kita.
Berkata
Benar kepada Siapapun
Berkata
benar tak semudah membalik tangan, apalagi jika perkataan itu ditujukan kepada
orang yang paling kita takuti atau sayangi. Terutama kepada orang yang kita
khawwatir akan terganggu atau tidak berkenan dengan perkataan itu.
Perkataan
benar sering menimbulkan efek negatif bagi kita. Ancaman dinonaktifkan dari
jabatan bahkan di-PHK, akan kita hadapi jika direktur atau manajer perusahaan
tersinggung dengan perkataan benar yang kita sampaikan. Karena mereka bisa
merusak reputasinya.
Kehilangan
kasih-sayang jika perkataan benar yang kita ucapkan tak berkenan di hati orang
yang kita sayangi juga harus kita tanggung. Bahkan, tak mustahil, orang yang
kita cintai akan berubah menjadi memusuhi kita.
Tapi,
apapun, perkataan benar harus tetap diucapkan, walau terasa pahit. Tak masalah
orang di sekitar tidak menyangi atau bahkan memusuhi kita, yang penting Allah
tetap menyayangi. Apa artinya sekuntum kasih sayang seseorang apabila itu
justru membuat Allah murka kepada kita.
Agar
perkataan benar itu bisa diterima dengan lapang dada, penting kita memahami
cara menyampaikannya dengan lemah lembut. Upayakan agar orang yang ditakuti
atau kita sayangi tak merasa ”diceramahi” dengan perkataan benar itu. Insyâ`allâh mereka akan ikhlas menerima. Wallâhu
a’lam bish-shawâb.
Semoga
kita bisa mengambil hikmah dari notes ini.
Silahkan SHARE ke rekan anda jika menurut anda
bermanfaat.
Oleh
: KH. Muhammad Idris Jauhari
0 comments: