Posted by
Unknown
|
0
comments
Menghiasi Hati dengan Iman
Menghiasi Hati dengan
Iman
“Ya
Allah jadikan kami orang-orang yang mencintai iman, dan jadikanlah iman itu
hiasan dalam hati kami, dan jadikan kami orang-orang yang benci pada kekafiran,
kefasikan dan kemaksiatan, serta jadikanlah kami orang-orang yang memperoleh
petunjuk di atas jalan yang benar.” (HR Tirmidzi)
Keimanan
adalah kekuatan luar biasa yang mengakar di hati. Seseorang yang imannya kuat,
pasti hatinya juga kuat. Ia tak akan mudah goyah oleh berbagai kenikmatan dunia
yang terhampar di hadapannya.
Keimanan
bersumber dari keyakinan yang kuat, terutama keyakinan bahwa Allah SWT adalah
Pencipta yang tiada sekutu bagi-Nya. Keyakinan kepada Allah adalah puncak dari
keberimanan seseorang. Allah-lah muara akhir dari segala aktivitas hidup dan
kehidupannya.
Keimanan
terdiri dari tiga unsur: pembenaran dengan hati, pengucapan dengan lidah, dan
pengamalan dengan anggota tubuh. Ketiganya menyatu padu, dan tak bisa
dipisahkan, dan mesti berjalan beriring secara harmonis. Tidak cukup seseorang
mengatakan beriman kepada Allah secara lisan, tapi ia tidak melaksanakan segala
perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya secara istiqamah.
Kaum
beriman tidak saja mencintai keimanan sebagai sebuah sikap. Tapi lebih dari
itu, mereka akan menjadikan keimanan sebagai hiasan dalam lubuk hati mereka.
Betapa mulia seseorang yang hatinya berhiaskan iman. Bisa dipastikan jiwa dan
pikirannya akan tenang dan tenteram. Tak ada kegelisahan sedikitpun ketika
menghadapi berbagai cobaan dunia yang datang menimpa. Wajahnya juga memancarkan
aura ketuhanan dan energi positif bagi siapa saja yang ada di sekitarnya. Dari
pikirannya akan mengalir untaian rasa kagum dan sikap positif terhadap ciptaan
Allah.
Kenapa
hati menjadi objek utama yang harus dihiasi dengan iman? Jawabannya sederhana,
karena hati adalah pusat dan sumber keimanan. Kejernihan hati menjadi prasyarat
untuk mengukur kualitas keimanan seseorang. Seorang muslim yang hatinya bersih
dan suci, ia pasti memiliki tingkat keimanan yang tinggi. Sementara orang yang
hatinya belepotan dengan dosa dan maksiat, pasti
kualitas keimanannya berada pada titik nadir terendah. Na’ûdzubillâh.
Merawat
Iman
Karena
hati menjadi faktor utama untuk menakar kualitas keimanan dan kepribadian
seseorang, maka penting bagi kita untuk memahami secara benar sifat hati yang
fluktuatif itu. Dalam bahasa Arab, hati disebut ‘qalb’. Penamaan hati dengan ‘qalb’ karena seringnya hati berbolak-balik.
Pasang surut. Tiada tetap. Kadang bersih, kuat, bercahaya, lemah-lembut. Di
saat yang lain, hati kadang menjadi kotor, penuh maksiat, gelap-gulita, bahkan
keras membatu.
Mengingat
sifat hati yang sering berubah-ubah ini, wajib bagi kita untuk merawat dan
menatanya, agar hati akan seperti dalam doa Rasulullah di atas, senantiasa
dihiasi cahaya iman dan dalam bimbingan-Nya.
Cara
merawatnya mudah. Yaitu dengan memperbanyak dzikir kepada Allah. Berdzikir
berarti bagaimana hati kita senantiasa ingat kepada-Nya, dalam situasi dan
kondisi apapun selama 24 jam. Berdzikir menjadi wahana paling efektif agar hati
senantiasa dalam bimbingan-Nya.
Hanya
dengan memperbanyak dzikir, hati kita akan tenteram. Firman Allah, ”Yaitu
orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat
Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (Qs. ar-Ra’d [13]: 28)
Dalam
doa di atas, Rasulullah juga mengajarkan kepada kita untuk menghindari sejauh
mungkin sifat-sifat yang bisa merusak kualitas keimanan. Yaitu kekafiran (al-kufr), kefasikan (al-fusûq), dan
kemaksiatan (al-’ishyân).
Tiga sifat ini adalah lawan utama keimanan.
Kalau
keimanan menjadi kekuatan yang luar biasa di dalam hati, dan mampu membimbing
kita untuk senantiasa hidup dalam ketentuan Allah, maka tiga sifat di atas
bernuansa sebaliknya. Ia akan menjerumuskan kita ke dalam jurang kemurtadan dan
neraka. Karena itu, kita harus mengantipati dan membenci ketiga sifat tersebut,
dan membuangnya jauh-jauh dari pikiran maupun hati kita.
Yang pertama,
kekafiran (al-kufr). Kekafiran adalah sebuah sikap,
sifat dan perilaku yang paling buruk tingkatannya di sisi Allah. Contoh paling
konkretnya: Allah mengkategorikan iblis termasuk orang-orang yang kafir. Sebab,
iblis menentang perintah Allah dengan cara tak mau bersujud kepada Adam. Iblis
mengklaim bahwa derajat dirinya lebih tinggi daripada Adam. Di sinilah letak
kecongkakan dan kesombongan pengganggu manusia itu.
Kekafiran
yang muncul di dalam hati kita, biasanya berbentuk penentangan. Orang yang
”kafir”, akan selalu menentang Allah dan tidak mengakui keberadaan-Nya.
Sebabnya bermacam-macam, bisa karena gengsi atau interes pribadi.
Ketahuilah,
menentang Allah, termasuk pula hukum-hukum-Nya, adalah sifat yang paling besar
dosanya, dan berbahaya bagi kelanjutan hidup seorang makhluk di hadapan Sang
Khaliq. Karenanya, kita harus tetap berusaha agar terhindar dari kekafiran,
baik terhadap iman maupun nikmat-nikmat Allah.
Yang kedua,
sifat kefasikan. Fasik adalah sikap tidak sampai upaya menentang, tapi sekedar penyimpangan
yang terlalu jauh. Ketika seseorang sudah menyimpang dari petunjuk Allah
terlalu jauh dan tak berjalan di atas jalur-jalur yang Allah tetapkan, maka ia
terkategori sebagai orang yang fasik.
Kefasikan
biasanya juga bermula dari dosa-dosa kecil yang kerap kita perbuat. Lama
kelamaan, dosa-dosa itu menumpuk dan akhirnya menutupi mata hati kita. Karena
itu, jangan sampai terdetik dalam hati kita untuk melakukan dosa-dosa kecil
sekalipun. Karena, dari situlah sering bermula kejahatan dan dorongan melakukan
dosa-dosa besar.
Yang
terakhir, lawan dari keimanan itu adalah kemaksiatan (al-’ishyân). Artinya,
kita melakukan suatu pekerjaan yang dilarang oleh agama dengan sengaja. Faktor
melakukan kemaksiatan seperti ini banyak menggejala akhir-akhir ini.
Kesengajaan, bisa jadi, bersumber dari pemahaman sempit dan salah tentang
ajaran-ajaran agama, atau karena sikap terlalu menyederhanakan masalah.
Seperti
banyak remaja yang menghabiskan hari-hari untuk melakukan maksiat kepada Allah
karena beranggapan masih ada kesempatan mereka di hari tua kelak untuk bertobat
dan memperbaiki diri. Sikap seperti ini adalah sikap yang sesat dan
menyesatkan. Justru, di usia remaja, kualitas hidup masa tua kita ditentukan.
Sikap
kekafiran, kefasikan, dan kemaksiatan, muncul akibat tidak adanya keimanan
dalam hati kita. Keimanan menjadi benteng hati kita agar tak mudah terjerumus
pada tiga sifat destruktif tersebut.
Karena
itulah, selain berdoa kepada Allah seperti yang Rasulullah ajarkan, mari kita
berusaha menjadikan hari-hari kita terhindar dari kemaksiatan, dijauhkan dari
sifat-sifat fasik, maksiat yang terus menerus, atau melakukan dosa-dosa kecil
yang berkelanjutan. Yang lebih penting, kita tidak melakukan kekafiran,
kekufuran, kefasikan, kemaksiatan, dan sikap menentang Allah.
Mudah-mudahan
kita termasuk orang-orang yang mendapatkan petunjuk (ar-rasyâd), untuk
senantiasa berjalan di atas jalan yang lurus.
Wallâhu
a’lam bish-shawâb.
Semoga
kita bisa memetik hikmah dari membaca notes ini.
Silahkan SHARE ke rekan anda jika menurut anda
bermanfaat.
Oleh
: KH.
Muhammad Idris Jauhari
0 comments: