Posted by
Unknown
|
0
comments
Indahnya Cinta Abu Dzar Al-Ghifary
Indahnya Cinta Abu Dzar Al-Ghifary
Lembah
Waddan adalah sebuah area penting yang terletak antara Mekah dan Syam, karena
merupakan jalur perlintasan kafilah dagang yang strategis. Di lembah itulah
tinggal suku Ghifar yang terkenal. Mereka hidup dari “pajak” yang dipungut pada
setiap rombongan kafilah yang melintas, bahkan tak segan merampok kafilah yang
tidak membayar sesuai ketentuan yang mereka tetapkan.
Pada
suatu masa, ada salah seorang anggota suku Ghifar yang mengalami kegelisahan
luar biasa karena mendengar selentingan berita tentang nabi baru di kota Mekah.
Jundub bin Junadah, nama anggota suku itu yang kemudian dikenal sebagai Abu
Dzar, merasakan kegelisahan itu begitu bergelora sampai akhirnya mendorong
dirinya berangkat ke Mekah untuk mendatangi langsung sumber beritanya. Singkat
cerita, datanglah Abu Dzar ke kota Mekah dan langsung jatuh cinta dengan ajaran
Muhammad pada pertemuan pertama.
Abu
Dzar adalah orang kelima/keenam yang pertama-tama masuk Islam. Dialah orang
yang berani memproklamirkan keislamannya di tengah keramaian kota Mekah.
Alhasil, dirinya menjadi bulan-bulanan dipukuli warga Mekah waktu itu, sampai
dilerai oleh Ibnu Abbas yang mengingatkan warga Mekkah bahwa Abu Dzar adalah
warga Ghiffar yang akan menuntut balas jika mereka membunuhnya.
Abu
Dzar sangat mencintai Rasulullah dengan segenap jiwa raganya. Suatu ketika,
dalam perjalanan menuju perang Tabuk (9 H), Abu Dzar tertinggal karena
lambatnya unta yang dikendarai. Karena semakin tertinggal dari rombongan
Rasulullah, Abu Dzar memutuskan untuk berjalan kaki. Mengetahu hal tersebut,
Rasulullah memutuskan berkemah di tempat terdekat. Lama mereka menunggu di
tengah panas terik padang pasir, sampai akhirnya terlihat sesosok lelaki
berjalan mendekat. Seorang sahabat berseru,
“Ya
Rasul, itu Abu Dzar!!”
dan
Rasulullah berkata,
“Semoga
Allah mengasihi Abu Dzar, ia berjalan sendirian, akan meninggal sendirian, dan
dibangkitkan kelak pun sendirian”.
Abu
Dzar tiba dengan tubuh lemah dan pucat pasi karena kehausan. Rasulullah heran
karena tangan Abu Dzar menggenggam sebungkus air minum.
“Kamu
punya air tetapi kamu tampak kehausan?“, tanya sang Rasul.
“Ya
Nabi Allah, di tengah jalan aku sangat kehausan sampai akhirnya menemukan air
yang sejuk. Aku khawatir Nabi juga merasakan kehausan yang sama, maka tidaklah
adil jika aku meminum air ini sebelum Nabi meminumnya” jawab Abu Dzar.
Subhanallah,
begitu besar cinta Abu Dzar kepada sang Nabi.
Setelah
Rasulullah wafat, Abu Dzar meninggalkan kota Madinah, untuk berdakwah dan
mempertahankan nilai-nilai kehidupan dari kontaminasi kenikmatan dunia.
Hidupnya semakin terkucil karena perbedaan pendapat dengan penguasa saat itu.
Sabda Rasulullah tentang kesendirian Abu Dzar terbukti, ketika pada tahun 32 H,
tiada yang menemani kepergiannya kecuali isteri dan anaknya. Menjelang meninggalnya,
beliau berwasiat kepada isteri dan anaknya itu agar keduanya yang memandikan
dan mengkafaninya.
Tatkala
Abu Dzar meninggal, keduanya pun melakukan apa yang diwasiatkannya, lalu
meletakkan beliau di pinggir jalan. Saat itu lewatlah Abdulah bin Mas’ud dan
sekelompok rombongan dari Iraq untuk umrah. Mereka menemukan sebuah jenazah di
pinggir jalan yang disampingnya ada seekor unta dan seorang anak yang berkata,
“Ini
adalah Abu Dzar sahabat Rasulullah, maka tolonglah kami untuk menguburkannya”.
Maka,
Abdullah bin Mas’ud pun menangis dan berkata,
“Sungguh
telah benar Rasulullah, beliau bersabda bahwa Abu Dzar, dia berjalan pergi
sendirian, dan meninggalpun dalam kesendirian, dan akan dibangkitkan dalam
kesendirian pula”.
Itulah
Abu Dzar Al Ghifari, yang dipuji oleh Rasulullah dalam sebuah sabdanya,
“Bumi
tidak pernah menadah dan langit tidak pernah menaungi orang yang lebih jujur
daripada Abu Dzar”
Semoga
kita bisa mengambil hikmah dari catatan ini
0 comments: